Perumahan pejabat pemerintahan Hindia Belanda di Menteng, Kebon Sirih Jakarta Pusat

Ahmad Syaropi Terbitkan Topomini Jakarta Barat, Ada Cerita Arab dan China

INDOWORK.ID, JAKARTA: Buku Topomini Jakarta Barat dihadiahkan kepada saya oleh Bang Lahyanto Nadie, jurnalis senior alumni Bisnis Indonesia, pekan lalu, Jumat, 26 Agustus 2022. Terima kasih untuk bukunya dan cerita masa lalu tentang daerah dimana selama 36 tahun sehari hari bekerja di sana.

Cerita dalam buku terbitan Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Barat yang dipimpin oleh Ahmad Syaropi itu begini:

KEPALA SUKU DINAS KEBUDAYAAN JAKARTA BARAT AHMAD SYAROPI

Selama 36 tahun saya bekerja di kantor redaksi koran kota, di Jl. Gajahmada 100, Jakarta Barat, yang ada di wilayah Kelurahan Krukut, kecamatan Taman Sari, sejak bujangan hingga memiliki cucu, tak banyak tahu saya cerita tentang wilayah ini, kecuali kerap mendengar sebutan “Arab Krukut”, meski sekarang kebanyakan penghuninya kaum Tionghoa.

Di kiri jalan, jika ada meluncur dari kawasan Harmoni menuju Glodok, ada banyak jalan-jalan di sekitar Gajah Mada 100, yaitu Jl. KeselaMatan, Jl. Kejayaan, Jl. Kebahagiaan, Jl. Keamanan, Jl. Kesederhanaan , Jl. Kemurnian, Jl. Keadilan,Jl. ketenteraman, dll, yang masing-masingnya menyimpan cerita masa lalu yang seru.

Kroekoet atau Crocot dalam Stratnamen in Batavia Vroeger en Jakarta Nu, juga nama gang, yaitu Gang Kroekoet hingga 1950-an. Gang Krukut kini melebar menjadi Jl. Kebahagiaan, yang kini jadi alamat studio Radio Sonora dan penerbit buku Kompas.

Kroekoet adalah nama sungai yang mengalir dari situ Citayam di Bogor, melewati Depok, Pasar Minggu, Kemang Prapatan, Setiabudi, Tanah Abang sampai Glodok, dan menyatu dengan banjir kanal. Krukut juga merupakan nama danau (situ) di wilayah Depok.

Nama Kroekoet atau Crocot diduga merupakan nama tanaman, yang tumbuhan rerumputan (Portulacaceae) di pinggir sungai sepanjang 40 Km, yang membuat sungai begitu indah. Saat kanak kanak, saya biasa mengambil Krokot untuk makanan jangkrik sebelum diadu.

Dalam peta VOC dan Hindia Belanda, Kroekoet atau krukut selalu ditulis Crocot. Lebih tepatnya Riviere Crocot.

Sebagai nama sungai, Krokoet atau Krukut diperkirakan sudah ada jauh sebelum Belanda mendirikan Batavia dan menjarah Ommelanden – wilayah di luar tembok Batavia.

Di era Belanda, merupakan pemukiman warga Arab. Sedangkan di Depok, Situ (danau) Krukut sebagai sumber dan cadangan air bagi persawahan luas.

Tapi sejak awal 2000-an, situ menjelma menjadi ratusan bangunan berupa rumah warga hingga bangunan sekolah. Bekas situ hanya menyisakan sejumlah empang atau balong warga.

Pada 1912 Krokoet merupakan kampung Arab yang mapan, di Batavia (Djakarta sejak 1942). Namun 1950 perlahan tapi pasti status Krukut sebagai kampung Arab memudar.

ARAB DIGANTI TIONGHOA

ALWI SHAHAB

Jurnalis senior dan penulis sejarah populer, Alwi Shahab, mengungkapkan, sejak 1970-an, hanya sedikit warga Arab yang bertahan di Krukut. Sebagai gantinya warga Tionghoa mendominasi.

Di kelurahan Krukut – Taman Sari, yang tersisa bernama Arab hanya nama Jl. Abdullah dan Jl. Talib. Di sana tinggal Awab Adam yang populer dengan sebutan Adam Jordan, pesinetron populer sera 1990-an.

Gang Madat dan Gang Madat Kecil, kini sudah berubah menjadi nama Jl. Kejayaan dan Jl. Kesejahteraan, lokasi di sekitar kantor. Kedua ruas jalan kecil ini adalah simbol kejayaan industri narkoba era Hindia-Belanda, selain pabrik opium pertama di Struiswijk atau Gang Tengah.

Di masa Belanda, opium merupakan bisnis legal, seperti rokok di masa kini. Ada pabrik opium di kawasan Salemba, yang kini jadi kampus PascaSarjana UI, berdiri 1901.

KESAKSIAN DI GANG MADAT

DIMAS SUPRIYANTO MEWAWANCARAI SUDWIKATMONO

Kesaksian para tetua di Gang madat, yang rata-rata orang Betawi, menyebutkan bisnis rumah madat dimulai di sebuah rumah kecil tepat di mulut gang. Beberapa tahun kemudian rumah Tionghoa lainnya di gang itu membuka jasa menghiasap madat. Dengan cepat berubah menjadi nama Gang Madat dan Pemerintah Hindia Belanda resmi menuliskannya di peta.

Pelanggang rumah madat mayoritas orang orangtua Tionghoa yang disembut ‘empek’. Para pemadat bertelanjang dada dan tidur miring, sembari mengsap pipa yang dipanaskan di sebuah lampu. Bisa dibayangkan, hari-hari di Gang Madat lalu lalang berbadan kurus, tulang belulalang yang teler berat. Akibat mengkonsumsi opium.

Barisan jalan di seputar kantor saya, di Jl Gajah Mada 100 – Taman Sari, selain Jl. Kebahagiaan, juga Jl. Kesederhanaan. Dulu di sana ada pabrik roti milik warga Tionghoa. Pemandangan pagi di sana, pedagang eceran mengambil roti untuk dijual lagi di pemukiman di sepanjang Molenvliet West dan Molenvliet Oost.

Sedangkan Jl. Keutamaan, dulunya disebut Gang Petasan, mengacu pada warga di sekujur gang yang memproduksi dan menjual petasan, memenuhi kebutuhan warga Tionghoa dan warga Betawi. Jelang Imlek atau mendekati Cap Go Meh –dua hari besar Tionghoa – Gang Petasan sibuk luar biasa. Sedangkan warga Betawi menggunakan petasan untuk acara pernikahan. Untuk urusan ini, nyaris petasan dibutuhkan sepanjang tahun.

Sebelum 1950-an, di daerah ini juga ada Gang Sekola Toekang. Tapi jejaknya sudah hilang. Kini berganti nama menjadi Jl. Kerajinan.

Sedihnya kisah nama-nama di sekitar kantor saya itu, baru saya ketahui rinciannya setelah pekan lalu dapat buku Topomini alias buku dan ilmu tentang asal muasal tempat.

Ditulis oleh Dimas Supriyanto, Founder Jakarta Weltevreden.

 

What is your reaction?

0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly

You may also like

Comments are closed.

More in Humaniora