Apa itu Toponimi? Barang Langka Nih…

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Mencari kata “toponimi” dalam percakapan sehari-hari, bagaikan memburu barang langka. Jarang ditemukan. Jika kita bedah, kata “toponimi” merupakan gabungan dua kata dalam Bahasa Latin yaitu tópos dan ónoma, yang masing-masing berarti “tempat” dan “nama”.

Artinya secara harfiah, toponimi adalah nama tempat, yang juga dapat bermakna sebagai studi tentang asal-usul nama tempat.

Toponimi juga sering kali disebut sebagai toponim. Dalam Modul Toponimi yang ditulis oleh Fajar Erikha, Ninnie Susanti, dan Kresno Yulianto, perbitkan oleh Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 2018, toponimi berperan sebagai penanda identitas serta titik awal bagi penelusuran latar sejarah dari suatu wilayah. Maka demikian, dapat dikatakan bahwa toponimi memiliki arti penting bagi penelusuran identitas dan sejarah suatu bangsa.

Fajar Erikha dkk juga menjabarkan fungsi-fungsi toponimi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, toponimi dapat digunakan sebagai penanda suatu lokasi yang dapat membedakannya dengan lokasi lain.

Contohnya, wilayah yang kini dikenal sebagai wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, merupakan sebuah wilayah yang mencakup Wilayah RT. 006 RW. 005, RW. 006, RW. 007, RW. 008, serta RW. 009, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta.

Artinya, wilayah lain di luar wilayah tersebut bukanlah merupakan bagian dari wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Dengan demikian, tanda tersebutlah yang turut membatasi wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dengan wilayah lain di luarnya. Itulah fungsi toponimi sebagai penanda.

Selanjutnya, toponimi juga berfungsi sebagai identitas atau identifikasi. Dibalik tanda (nama) yang disematkan pada suatu wilayah, tentunya ada sejarah bagaimana nama tersebut akhirnya dipilih sebagai penanda. Proses tersebutlah yang menjadikan toponimi dapat digunakan sebagai acuan awal dalam penelusuran identitas.

JALAN DI SETU BABAKAN

Toponimi dan identitas sangat berkaitan erat. Toponimi sebagai identitas memungkinkan kita mengetahui bagaimana karakter masyarakat di suatu wilayah, serta sejarah yang melekat pada mereka. Contohnya penamaan Jalan Setiabudi di wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.

Penamaan Jalan Setiabudi ternyata dilatari atas peristiwa penggusuran di wilayah Setiabudi, Jakarta Selatan, yang terjadi pada 1980-an. Kala itu, masyarakat yang terkena dampak penggusuran akhirnya berbondong-bondong pindah ke suatu wilayah di Kampung Kalibata, Srengseng Sawah.

Akses utama pada wilayah tersebut sebelumnya tidak memiliki nama. Orang-orang Setiabudi yang telah menganggap “Setiabudi” sebagai bagian dari identitas mereka, akhirnya memutuskan untuk memberikan nama “Setiabudi” sebagai penanda nama jalan akses utama ke wilayah tempat tinggal baru mereka di Kampung Kalibata. Maka dari itu, kemudian muncul nama Jalan Setiabudi di Kampung Kalibata, Srengseng Sawah. Dalam hal ini, kita dapat mengetahui bahwa toponimi dapat mengandung peranan historis dan memori bagi individu atau kelompok pada lingkungan toponimnya.

PROMOSI PARIWISATA

Menperakraf Sandiaga Uno menandatangani prasasti Desa Wisata Setu Babakan

Selain sebagai penanda dan identitas, menurut Fajar Erikha dkk, toponimi juga dapat berfungsi sebagai promosi pariwisata. Contoh yang ditunjukkan oleh Fajar Erikha dkk yaitu pengembalian nama-nama jalan di Yogyakarta. Beberapa nama jalan di Yogyakarta yang telah mengalami perubahan, akhirnya dikembalikan ke nama-nama jalan asalnya. Hal ini dilakukan untuk memperkuat sumbu filosofi dari Keraton Yogyakarta, yang akhirnya bermuara pada upaya promosi pariwisata Yogyakarta.

Banyak cara yang dapat dilakukan dalam penelusuran toponimi suatu wilayah. Merujuk pada Modul Toponimi yang ditulis oleh Fajar Erikha dkk, cara-cara penelusuran toponimi dapat dilakukan di antaranya dengan mencari sumber informasi tertulis dari buku-buku toponimi populer, penelusuran melalui peta lama, wawancara tokoh, mengamati toponim yang mencolok, serta penelusuran melalui dunia maya.

Cara-cara itulah yang kemudian diadaptasi oleh penulis dalam menyusun buku toponimi ini. Cara utama yang dilakukan oleh penulis adalah dengan melakukan wawancara tokoh masyarakat di wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Wawancara tokoh telah dilakukan selama beberapa bulan di tahun 2022, ditemani oleh rekan-rekan dari UPK Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Narasumber yang diwawancara merupakan tokoh masyarakat dari lima RW yang masuk dalam wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.

KOLEKSI UNIVERSITAS LEIDEN

Perumahan pejabat pemerintahan
Hindia Belanda di Menteng, Kebon Sirih
Jakarta Pusat

Selain wawancara tokoh, penelusuran peta lama juga dilakukan. Penulis melakukan penelusuran melalui laman koleksi digital Universitas Leiden Belanda yang banyak menyimpan data peta lama Indonesia. Dari hasil penelusuran tersebut, penulis menemukan peta wilayah yang saat ini menjadi Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan yang dibuat pada tahun 1897 dan dipublikasi oleh Batavia Topographisch Bureau pada tahun 1901 dengan kode D G 22,3 dan D G 22,4.

Peta tersebut menunjukan eksistensi Setu Babakan (dalam peta ditulis “Sitoe Babakan”), Kampung Kalibata (dalam peta ditulis “Kali bata”), Kampung Cipedak (dalam peta ditulis “Tjempedak”), serta Setu Manggabolong (dalam peta ditulis “Sitoe Manggabolong”). Temuan tersebut menandakan bahwa eksistensi wilayah yang saat ini dikenal sebagai wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan telah ada setidaknya sebelum tahun 1897.

Penelusuran melalui pengamatan toponim yang mencolok juga dilakukan. Misalnya pengamatan terhadap Gang Langgar dengan memastikan keberadaan Langgar di wilayah tersebut, atau Jalan Kramat Bambu dengan memastikan keberadaan keramat (makam) pada wilayah tersebut serta keadaan wilayah yang mungkin ditumbuhi bambu. Selain itu, penelusuran melalui media buku dan dunia maya juga dilakukan, namun tidak semasif penelusuran dengan cara-cara lain yang telah disebutkan.

Peta lama wilayah sekitar Lenteng Agung yang menunjukkan keberadaan Setu Babakan (Sitoe Babakan) dan Kampung Kalibata (Kali bata). Peta dibuat pada tahun 1897 dan diterbitkan pada tahun 1901 oleh Batavia Topographisch Bureau dengan kode D G 22,3. Sumber: http://hdl.handle.net/1887.1/item:815983.

Peta lama wilayah sekitar Lenteng Agung dan Depok yang menunjukkan keberadaan Setu Mangga Bolong (Sitoe Manggabolong), Kampung Cipedak (Tjempedak), dan Kampung Kalibata (Kali bata). Peta dibuat pada tahun 1897 dan diterbitkan pada tahun 1901 oleh Batavia Topographisch Bureau dengan kode D G 22,4. Sumber: http://hdl.handle.net/1887.1/item:815983.

*) Penulis Ide Nada Imandiharja, mahasiswa pascasarjana ITB Bandung

What is your reaction?

0
Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly

You may also like

Comments are closed.

More in Headline