Buku Toponimi Perkampungan Budaya Betawi, Cerita Tentang Setu dan Rawa

INDOWORK.ID, JAKARTA: Rancangan program Membangun Pusat Perkampungan Budaya Betawi, muncul desakan masyarakat Betawi, yang kemudian didukung oleh tokoh-tokoh, serta organisasi masyarakat kebetawian yang kemudian dikoordinasi oleh Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Betawi. Berdasarkan hasil pertimbangan berbagai pihak, lokasi Setu Babakan dinilai memungkinkan jika dibangun sebuah perkampungan yang berfungsi sebagai pusat budaya Betawi.

Bagi Bamus Betawi, Lembaga Teknologi Universitas Indonesia (Lemtek UI), dan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Perkampungan Budaya Betawi dapat didefinisikan sebagai suatu tempat di Jakarta, di mana dapat ditemukan dan dinikmati kehidupan bernuansa Betawi berupa: keasrian alam Betawi, komunitas Betawi, tradisi Betawi, kebudayaan dan materi yang merupakan sumber informasi dan dokumentasi kebetawian. Hal itulah yang mendorong pembangunan sebuah pusat budaya betawi atau Perkampungan Budaya Betawi yang dinilai dapat membantu pelestarian budaya Betawi di tengah modernisasi yang terjadi.

FESTIVAL SETU BABAKAN

Rumah Kebaya Setu Babakan

Percobaan atas inisiatif pembangunan Perkampungan Budaya Betawi kemudian dilakukan pada tanggal 13 September 1997. BAMUS BETAWI bersama Sudin Pariwisata Jakarta Selatan menyelenggarakan Festival Setu Babakan/Sehari di Setu Babakan sebagai langkah awal dari pematangan konsep pembangunan pusat budaya Betawi di Setu Babakan.

Kegiatan tersebut disambut hangat oleh masyarakat karena melibatkan berbagai aktivitas yang sangat erat dengan budayanya. Antusias yang baik dari masyarakat pada festival ini juga membuat BAMUS BETAWI berinisiatif menyerahkan embrio Perkampungan Budaya Betawi ini kepada masyarakat dan organisasi pendukung yang disebut sebagai SATGAS PBB.

Barulah pada 1998, BAMUS BETAWI mengajukan proposal Pembangunan Perkampungan Budaya Betawi kepada Pemda DKI Jakarta, dengan alternatif pembangunan di wilayah Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Dua tahun setelah proposal diajukan, akhirnya Gubernur Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No. 92 tahun 2000 tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Berdasarkan surat keputusan tersebut, akhirnya pada tanggal 15 September 2000, embrio PBB pun dimulai pembangunannya.

SUTIYOSO MERESMIKAN

Penonton antusias dalam acara ulang tahun ke-22 Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan (foto Muhammad Sulhi Rawi)Perkampungan Budaya Betawi selanjutnya baru diresmikan oleh Bapak Sutiyoso selaku Gubernur DKI Jakarta saat itu pada tanggal 20 Januari 2001. Beliau menandatangani prasasti Pencanangan Awal Perkampungan Budaya Betawi, diiringi dengan pemberian mandat oleh Ketua Umum BAMUS BETAWI, Bapak dr. H. Abdul Syukur, S.K.M kepada SATGAS PBB untuk berperan aktif dalam pengawasan Perkampungan Budaya Betawi. Begitulah cikal-bakal Perkampungan Budaya Betawi yang didukung oleh berbagai pihak yang menganggap bahwa budaya Betawi penting untuk dilestarikan.

Saat itu, payung hukum yang berlaku adalah SK Gubernur No. 92 tahun 2000. Namun karena payung hukum yang telah dibuat itu belum dapat menaungi secara utuh, maka kemudian diusulkanlah pembuatan perda yang dapat menaungi seluruh pembangunan Perkampungan Budaya Betawi secara hukum.

Kemudian lahirlah Perda No. 3 tahun 2005 tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Salah satu bahasan yang dimuat dalam perda tersebut adalah bahwa wilayah Perkampungan Budaya Betawi mencakup wilayah yang kini secara administratif dikenal sebagai wilayah RT. 006 RW. 005, RW. 006, RW. 007, RW. 008, dan RW. 009, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan selanjutnya pada buku ini akan diceritakan toponiminya berdasarkan pembagian wilayah perairan dan wilayah daratan. Wilayah perairan mencakup dua setu yaitu Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong, serta rawa-rawa.

MASIH ADA RAWA

Adapun rawa yang akan diceritakan pada buku ini merupakan rawa yang masih ada eksistensinya, maupun yang sudah tidak ada seperti Rawa Bakul, Rawa Bubu, dan Rawa Pule. Sementara itu, pada wilayah daratan, cerita tentang toponiminya akan dibagi ke dalam dua wilayah perkampungan, yaitu Kampung Kalibata dan Kampung Cipedak.

Hal ini karena Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan mencakup dua kampung tersebut, meskipun tidak semua bagian dari Kampung Kalibata dan Kampung Cipedak termasuk dalam wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Jadi pembatasan yang akan dibuat disini untuk wilayah daratan adalah cerita toponim dari wilayah Kampung Kalibata dan Kampung Cipedak yang termasuk dalam wilayah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.

*) Penulis, Ide Nada Imandiharja, Mahasiswa Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.

You may also like

Comments are closed.

More in Headline