Pemanfaatan Instrumen WTO dan Tantangan Industri Nasional di Indonesia

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Untuk mengatasi cedera atau melindungi konsumen, tersedia berbagai instrumen WTO seperti anti-dumping, anti-subsidi, safeguard, sanitary and phyto-sanitary, dan lain-lain.

Implikasi Lemahnya Pemanfaatan Instrumen WTO terhadap Industri Nasional

Namun, sayangnya, Indonesia tidak terlalu pandai memanfaatkannya. Menurut data ITIP-WTO per 31 Desember 2016, negara-negara ekonomi kuat seperti AS, China, Jepang, dan India merupakan pengguna masif NTM [non-tariff measures], dengan jumlah masing-masing 5083, 2529, 1396, dan 660. Sedangkan Indonesia hanya mencatatkan 284 NTM.

NTM mencakup berbagai tindakan balasan atau retaliasi dengan berbagai tujuan, bentuk hukum, dan dampak ekonomi. Lemahnya perlindungan terhadap industri nasional memberikan andil dalam penurunan kinerja sektor industri, selain faktor lainnya.

Beberapa cabang industri nyata-nyata tergerus oleh produk impor. Peranan sektor industri terhadap PDB yang pernah mencapai 30%, dalam 10 tahun terakhir seringkali tumbuh di bawah kinerja ekonomi, sehingga perannya saat ini hanya sekitar 20%.

Selama lebih dari 5 tahun terakhir, terjadi stagnasi kontribusi serta pertumbuhan industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki, serta lemahnya kinerja industri barang modal. Sementara itu, ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia stagnan sekitar angka US$11 miliar–US$12 miliar sejak 2010.

Sementara, Vietnam meningkat 2 kali lipat, Bangladesh meningkat 1,5 kali, dan India meningkat 1,8 kali dibandingkan dengan Indonesia. Kejadian kehilangan pangsa ekspor Indonesia terhadap negara-negara lain, terutama di ASEAN, terjadi di semua sektor industri dan sektor ekonomi.

Mendorong Pertumbuhan Industri Teknologi Tinggi di Indonesia

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, infrastruktur, dan perumahan serta menghadapi persaingan global, Indonesia perlu mengembangkan industri dengan teknologi tinggi. Sulit diterima jika industri padat karya Indonesia kalah bersaing dan industri barang modal dan komponen tidak berkembang.

Terdapat beberapa faktor fundamental yang perlu segera diperbaiki di sektor industri ini. Oleh karena itu, ajakan atau tawaran Free Trade Agreement (FTA) dari negara manapun perlu dipertimbangkan dengan hati-hati dalam situasi kinerja industri saat ini, sambil tetap menyelesaikan berbagai permasalahan dalam negeri.

Tekanan dari barang impor akan semakin tak terkendali seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi China, ditambah lagi dengan rendahnya tarif bea masuk. Pertanyaannya, dengan tarif yang sudah rendah, apakah perlu diturunkan lebih lanjut melalui perjanjian perdagangan baru? Apakah benar bahwa jika Indonesia tidak segera menandatangani FTA baru, akan berisiko mengal.

You may also like

Comments are closed.

More in Bisnis