• Tue, Dec 2025

Kebaya Merah di Tebing Kanal, Ruang Ingatan dalam Cerpen Martin Aleida

INFRASTRUKTUR.CO.ID, JAKARTA: Ruang refleksi sastra, ingatan, dan kebenaran yang tidak terucap kembali dibuka melalui cerpen-cerpen Martin Aleida. Dari sudut pandang kemanusiaan, karya-karya tersebut dibaca ulang dalam buku Kebaya Merah di Tebing Kanal yang diluncurkan di Beranda Rakyat Garuda, Jakarta Timur, Jumat 12 Desember 2025. Di tengah hujan pada diskusi ini, mengajak pembaca menyelami sisi kemanusiaan yang kerap terpinggirkan dalam narasi resmi.

Acara ini dimoderatori Imam Muhtarom, peneliti sastra, dengan menghadirkan dua pembahas, yakni Dewi Kharisma Michellia (penulis dan anggota Dewan Kesenian Jakarta) serta Alghifahri Jasin (penulis). Diskusi berfokus pada pembacaan ulang cerpen-cerpen Martin Aleida yang kerap bersinggungan dengan ingatan kolektif peristiwa 1965.

Dalam pengantarnya, Imam Muhtarom menyampaikan pesan dari Martin Aleida yang berharap karyanya dikritisi secara terbuka. “Martin ingin karyanya dibaca dengan jujur dan kritis,” ujar Imam. Ia juga menekankan konsistensi Martin yang dinilainya “konsekuen dengan motif-motif tematik yang sejak awal terus dirawat”.

Harapan itu, menurut Martin, benar-benar terwujud. Dalam catatannya di postingan facebook, ia mengaku kritik dari dua pembahas yang usianya terpaut setengah abad darinya justru menjadi hal yang ia dambakan. “Kritik yang kudambakan dari dua pembicara… menjadi kenyataan. Saya dengarkan apresiasi mereka dengan uraian rinci mengenai kelima cerita pendek dalam kumpulan Kebaya Merah di Tebing Kanal ,” tulis Martin.

Bagi Michellia, permintaan untuk mengkritik karya Martin bukan perkara mudah. “Kalau diminta kritik, sangat sulit, karena Martin adalah idola saya,” tuturnya. Michellia menilai kekuatan cerpen-cerpen Martin terletak pada keteguhan sikap estetik dan keberaniannya merawat ingatan yang sering kali disisihkan.

Sementara itu, Alghifahri Jasin, akrab disapa Agi, membagikan pengalaman personalnya berjumpa dengan karya dan sosok Martin. Ia mengisahkan kesan pertama datang ke Beranda Rakyat Garuda yang mengingatkannya pada masa kecil saat mengantar sang nenek agenda arisan. “Awal Desember saya dikabari Martin untuk mengisi acara ini. Tanpa mikir panjang, langsung saya terima,” ujarnya.

Agi yang berasal dari Sulawesi, juga menuturkan pertemuan pertamanya dengan Martin di Jakarta setelah berkenalan melalui media sosial. “Sastra itu bisa membuat kita berkenalan dengan orang,” katanya.

Buku Kebaya Merah di Tebing Kanal memuat lima cerpen Martin Aleida yang sebelumnya pernah terbit di harian Kompas , yakni:

  1. Kebaya Merah di Tebing Kanal (18 Juni 2023)
  2. Lelakiku (8 Juni 2025)
  3. Perkenalkan, Uno (5 Januari 2025)
  4. Tukang Urut di Tepi Danau (27 Mei 2007)
  5. Sugulung Kertas Kecil di Ubi Rebus (21 Oktober 2018)

Menurut Agi, rentang waktu terbit cerpen-cerpen tersebut justru menimbulkan “kecurigaan artistik”. Ia menilai kelima cerpen itu telah melalui proses “fermentasi” panjang sejak pengalaman-pengalaman sejarah 1965. “Keputusan artistik Martin menunjukkan kesadaran yang matang,” ujarnya.

Diskusi juga menyinggung fungsi sastra bertema 1965 yang dinilai tidak sekadar merekam peristiwa, tetapi menawarkan sudut pandang alternatif. “Sastra perlu menawarkan sesuatu yang lain,” kata Agi.

Dari audiens, Ninu Kleden menyampaikan pandangannya bahwa kebenaran kerap hadir dalam novel, cerpen, dan puisi, namun tidak selalu terucapkan secara langsung. “Ia sering hanya tinggal di dalam hati. Meneliti menjadi bagian penting dari proses menulis,” ujarnya.

Buku ini sendiri merupakan karya ke-16 Martin Aleida sejak mulai berkarya pada 1962. Sampul buku menampilkan lukisan abstrak karya Ibnu Wahyudi, yang memperkuat nuansa simbolik dan reflektif dari isi cerpen-cerpen di dalamnya.

Peluncuran dan diskusi ini menjadi ruang perjumpaan antara teks sastra, ingatan sejarah, dan pengalaman personal, sekaligus menegaskan posisi karya Martin Aleida sebagai bagian penting dalam sastra Indonesia.